Bismillaahirrahmaanirraahiim.
Astagfirullaahal’adziim. Astagfirullaahal’adziim. Astagfirullaahal’adziim.
Tiada
daya dan upaya selain kekuatan dari-Mu, yaa Allah.
Yaa
Rabb. Engkaulah sebaik-baik tempat untuk berkeluh kesah. Ampuni hamba-hamba-Mu
yang selalu mengeluh akan qadar-Mu. Mungkin bertafakur adalah salah satu cara
hamba-Mu untuk berdiskusi dengan-Mu hanya agar kami semua bisa mengambil hikmah
dari Engkau, Sang Pencipta dan Maha Berkehendak atas segala sesuatu.
Qadarullaah.
Sulit
sekali menemukan ruang yang tepat untuk dikatakan nyaman selain menciptakan
kata “nyaman” di setiap tempat. Apapun kondisinya,
Sulit.
Sangat sulit,
Di
media sosial. Di lingkungan sekolah. Di lingkungan masyarakat luas. Di kumpulan
keluarga. Atau mungkin bahkan terjadi pula di dalam rumah. Orang-orang tampak sibuk menjunjung tinggi akan apa yang
telah mereka berikan daripada memikirkan apa yang akan seterusnya bisa
diberikan. Hakikat kebaikan bukan lagi berlomba-lomba dalam kebaikan. Tapi
berlomba-lomba dalam mengumbar kebaikan. Entah untuk apa. Yaa Rabb hamba-Mu ini
sungguh sulit untuk paham mengapa manusia puas akan eksistensi dirinya. Sampai
mengumbar akan masalahnya, gemar mengungkap apa yang mereka tahu tak peduli apa
itu benar atau bukan, tak peduli pula apa itu aib seseorang atau bahkan aib
dirinya, senang mengungkit apa yang telah diperjuangkannya, terlebih menganggap orang
lain salah hanya atas dasar pendapat orang lain berbeda akan dirinya, senang akan
pujian–padahal pujian adalah salah satu musuh dalam selimut paling nyata, memandang sebelah
bahkan parahnya menjadi anti akan kritikan–padahal kritikan adalah salah satu
jalan paling mudah bagi manusia menemukan nyatanya kebenaran dan kejujuran.
Kompleks,
yaa Rabb. Sangat kompleks. Sulit dipahami.
Kesimpulan
yang hamba-Mu ini dapatkan adalah betapa seramnya para manusia yang serakah.
Betapa kejamnya manusia menjadi virus bagi fikiran-fikiran manusia lainnya.
Mereka melakukan semua atas unsur tak sadar karena apatis terhadap kepentingan
orang lain. Parahnya bahkan mereka secara sadar untuk ber-‘apatis’ pada orang
lain. Tak peduli itu saudara mereka atau bukan.
Kemungkinan
motivasi yang menjadi landasan mereka untuk bisa berhubungan baik adalah:
1. Kedekatan
2. Satu pendapat
3. Mayoritas atau mendominasi
Tambah
rumit ketika itu menjadi landasan kebenaran bagi mereka.
Sungguh
sangat tampak. Tidak ada keikhlasan bahkan dalam suatu keluarga hamba-Mu yaa Rabb. Bahkan
hanya perihal saling mengasihi. Selalu ada saling membicarakan keburukan di
belakang pihak yang dianggap ‘berbeda’. Keikhlasan terlalu didasarkan atas
seberapa banyak yang telah seseorang berikan. Bahkan kebaikan seseorang pun
dikotak-kotakan dan manusia membuat standar minimal kebaikan bagi setiap orang.
Sangat
jelas tampak, kebaikan bagi mereka sebenarnya hanyalah sebuah tuntutan
yang harus dituruti. Bila segala sesuatu tak sesuai tuntutan, maka cap tak baik akan
melekat pada orang itu. Kebaikan yang telah diperjuangkan layaknya sesuatu yang
harus diketahui orang banyak. Betapa pun buruknya aib selayak perlu untuk
menjadi bahan cerita dalam setiap komunikasi dengan orang lain. Tanpa batas.
Tanpa timbang.
Bukankah
memperjuangkan kebaikan itu adalah sebuah pengorbanan? Mengapa harus menuntut
balasan hingga gemar diungkit untuk diperbincangkan? Perjuangan tanpa ikhlas
bukanlah sebuah ‘pengorbanan’. Lebih jauh gemar diungkit untuk diumbar dalam
perbincangan, perjuangan sangat tampak hanya seperti sebuah ‘perhitungan’.
Yap.
Ada hal yang tidak ditemukan dan kurang didapatkan–dari makhluk-Nya bahkan dalam keluarga yang seharusnya menjadi sumber utamanya. Kasih sayang.
Tak
ada kasih sayang antar sesama.
Penuh
kebencian dan tuntutan.
Tak
ada pengertian dan perhatian.
Tak
ada toleransi akan perbedaan.
Tak
ada kesabaran.
Tak
ada penghargaan.
Gemar
mengungkit kesalahan.
Hambar
dari memperbaiki diri sendiri.
Sibuk
mengingat keburukan seseorang.
Maafkan
hamba-Mu ini yaa Rabb, yang masih tak mampu menemukan hakikat baik buruk hidup
ini. Hamba-Mu ini justru malah tak mampu menemukan beda.
Tak
ada perbedaan antara baik dan membenci.
Tak
ada perbedaan antara benar dan salah, pun baik buruk.
Hingga
tak ada lagi makna maaf dan terima kasih.
Maaf
dan terima kasih tampak menjadi hal kecil.
Padahal
dari dua hal kecil inilah benih kasih sayang akan tumbuh karena semua orang
punya benih itu. Di setandus apapun kondisi hidup seseorang, benih itu pasti
bisa tumbuh.
Ruang
yang dibutuhkan seseorang adalah kesempatan.
Kesempatan
untuk berjuang.
Kesempatan
untuk berharap.
Kesempatan
untuk bercakap.
Pun
kesempatan untuk berubah.
Yaa
Rabb. Maha luas magfirah-Mu. Lantas mengapa betapa manusia sangat berani
membatasi kesempatan bagi seseorang untuk memperbaiki diri?
Saling
mengingatkan dalam kebaikan. Itukah tugas kami semua?
Kuatkan
hati hamba-hamba-Mu ini, yaa Rabb.
Tanpa
Kau lunakan hati kami, saling mengingatkan dalam kebaikan hanya dilakukan tanpa
lembutnya kebaikan dan disampaikan tanpa sejuknya kebaikan.
Sesak
dada ini yaa Rabb, ketika justru malah antar anggota keluarga yang bahkan berani saling menutup hati. :”).
Se-tidak-suka-nya dengan seseorang, berhusnudzan pada-Mu yang Maha Membulak-balikan hati adalah cara terbaik dari mendendam sebagai reaksi atas perbedaan.
Sekali
lagi, benih kasih sayang itu dimiliki semua orang. Bahkan di hati yang tandus
sekalipun.
Kesal
dan marah hanyalah reaksi seseorang. Tapi dalam membenci, manusia sangatlah tak
berhak. Sungguh tidak ada yan percuma dalam kebaikan.
Tahukah
wahai manusia benih apakan yang yang tumbuh di hati tandus? Bentuk kasih sayang
yang ada dalam marah dan kesalnya seseorang adalah mendo’akannya. Memberikan
do’a baik. Melibatkan sang Khalik yang Maha Segalanya.
Tentang
ruang.
Sungguh
sempit pandangan manusia akan segala sesuatunya.
Alangkah
lebih baik jika manusia melihat lebih dekat.
Hingga
akan menilai segala sesuatunya lebih bijaksana.
Astagfirullaah. Astagfirullaah.
Astagfirullaahal’adziim.
Ampuni kekhilafan kami semua.
Ampuni keserakahan hati kami semua.
Ampuni kesempitan hati dan
pandangan ilmu kami semua.
Engkaulah sebaik-baik pengampun
yaa Rabb. :”*.
Luaskanlah ilmu kami. Teguhkanlah
iman kami.
Janganlah Engkau tutup hati kami.
Sungguh ampunan-Mu luas tanpa
batas sedang ampunan manusia tak seorang pun yang tahu. Tak pasti nilai
ikhlasnya.
Sungguh sulit hablumminannas ini
yaa Rabb.
Tetapkanlah kami semua untuk tetap
mendapat curahan kasih-Mu.
Allaahumma aamiin yaa
rabbal’aalamiin.
Komentar
Posting Komentar